Jumat, 05 Juni 2009

Penyakit Hawar Daun Bakteri

PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI (Xanthomonas oryzae pv. Oryzae) PADA PADI

Penduduk dunia setiap tahunnya selalu bertambah. Pertambahan penduduk ini perlu diimbangi dengan peningkatan penyediaan pangan, sandang, dan papan. Pertambahan penduduk yang cepat sebagian besar tinggal di negara-negara yang sedang berkembang atau negara miskin. Beras merupakan makanan pokok bagi mereka, terutama Asia tempat padi banyak ditanam. Beras merupakan pemasok kalori yang sangat tinggi di Asia. Produksi beras hampir 90 % dihasilkan di Asia. Asia Timur menghasilkan beras sekitar 45.4 %, Asia Selatan 23.5 %, Asia Tenggara 22.2 %. Selain Asia, beras juga dihasilkan di daerah lain seperti Amerika Latin sebesar 3.9 % dan Afrika sebesar 2.2 %. Sedangkan sisanya, sekitar 2.8 %, dihasilkan dari benua lain (Sudarmo, 1991).
Dengan pertambahan penduduk yang terus melonjak, manusia mulai menghadapi masalah, yaitu penyediaan pangan. Jumlah penduduk Indonesia yang sangat besar merasakan pentingnya program ketahanan pangan, terutama beras. Hal ini karena beras merupakan makanan pokok sebagian besar penduduk Indonesia. Di Indonesia, padi merupakan tanaman penghasil beras yang paling banyak dibudidayakan oleh petani. Dalam pembudidayaannya sering ditemui berbagai kendala, diantaranya adalah musim dan serangan hama dan penyakit. Produksi yang diharapkan tinggi, tiba-tiba tidak tercapai hanya karena serangan hama dan penyakit yang mendadak. Penurunan produksi karena hama dan penyakit sebenarnya dapat dikurangi apabila hama dan penyakit yang menyerang telah dikenali.


Penyakit hawar daun bakteri menyebabkan penurunan produksi padi yang cukup tinggi dan dalam keadaan tertentu dapat menurunkan produksi sampai 60 %. Penyakit ini mempunyai beberapa ras dari jenis bakteri dan masing-masing mempunyai perbedaan kemampuan untuk menginfeksi tanaman padi (Sudarmo, 1991).

Penyebab Penyakit
Dalam budidaya padi di Indonesia, salah satu penyakit yang ditakuti petani adalah penyakit hawar daun bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh Xanthomonas oryzae pv. Oryzae tersebut dapat terjadi pada tingkat bibit, tanaman muda, dan tanaman tua. Tidak hanya di Indonesia, penyakit ini juga menjadi hal yang menakutkan di negara produsen beras lainnya, seperti Jepang, India, dan Philipina. Penyakit hawar daun bakteri mulai menyebabkan kerusakan pada pertanaman padi di Indonesia pada musim hujan tahun 1948/1949, pada waktu itu penyakit ini disebut sebagai kresek atau hama lodoh apabila tanaman sampai mati. Di Jepang, kehilangan hasil yang diakibatkan penyakit ini berkisar 20-30 % bahkan mencapai 50%. Di daerah tropis, misalnya Indonesia kerusakan pertanaman padi lebih besar dibandingkan daerah sub tropis (Khaeruni, 2001).
Penyakit hawar daun bakteri merupakan salah satu penyakit padi terpenting di banyak negara penghasil beras termasuk Indonesia. Di Indonesia, penyakit hawar daun bakteri pertama kali dilaporkan oleh Reitsman dan Schure pada tahun 1950. Selanjutnya Schure berhasil mengidentifikasi organisme penyebab penyakit hawar daun bakteri, yang pada waktu itu dikenal dengan Xanthomonas kresek. Patogen penyebab hawar daun bakteri di Indonesia sama seperti yang menyerang tanaman padi di Jepang, sehingga namanya diganti menjadi Xanthomonas oryzae (Uyeda et Ishiyama) Dowson. Pada tahun 1976, nama patogen ini menjadi Xanthomonas campestris pv. oryzae dan sejak tahun 1992 oleh Swing et al., (1990) dinamakan Xanthomonas oryzae pv. Oryzae (Goto, 1964).
Penyakit hawar daun bakteri sudah dikenal di Jepang sejak tahun 1884. Penyakit ini tersebar luas di berbagai negara penghasil padi seperti Cina, Taiwan, Korea, Thailand, Vietnam, Filiphina, Sri Lanka, India, Afrika, Australia, dan Amerika Selatan. Penyakit ini belum terdapat di Eropa dan Amerika Utara. Penyakit ini tersebar luas di Indonesia (Semangun, 2004).
Sebagai akibat dari meluasnya penanaman varietas IR64 yang rentan terhadap hawar daun bakteri, timbul kelompok strain baru yang menjadi dominan di suatu wilayah, sehingga sampai tahun 1994 menurut sistem Kozaka telah dikembangkan 11 kelompok strain Xanthomonas oryzae pv. Oryzae dengan tingkat virulensi yang berbeda. Diantara strain tersebut, kelompok strain IV merupakan kelompok strain yang virulensinya paling tinggi. Semua varietas dari Indonesia yang pernah diuji bersifat rentan terhadap kelompok strain tersebut, sehingga perakitan varietas padi yang tahan terhadap kelompok strain IV tidak dapat dilakukan (Kardin dan Hifni, 1993).
Patogen penyebab hawar daun bakteri mempunyai beberapa strain. Pada tahun 1994, di Indonesia terdapat 11 kelompok strain penyebab hawar daun bakteri. Pada tahun 1970-an, kelompok strain III paling luas sebarannya sehingga seleksi varietas padi didasarkan atas kepekaannya terhadap kelompok itu. Di samping kelompok III, strain kelompok IV adalah yang paling virulen dan belum ada varietas padi yang tahan terhadap strain ini (Utami et. al., 2007). Berdasarkan sistem Kozaka yang telah dikembangkan saat ini di Indonesia telah dijumpai 11 kelompok strain Xanthomonas oryzae pv. Oryzae dengan tingkat virulensi yang berbeda. Pada tahun 1970-an strain kelompok III merupakan strain yang luas sebarannya, sehingga dalam penyeleksian varietas selalu menggunakan strain III. Strain kelompok IV merupakan strain yang tingkat virulensinya paling tinggi dan belum ada varietas yang tahan terhadap strain ini. Sejalan dengan adanya pergeseran strain Xanthomonas oryzae pv. Oryzae dari waktu ke waktu di lapang, menyebabkan penggunaan varietas tahan yang dianggap mampu mengatasi penyakit hawar daun bakteri hanya bersifat sementara dan terbatas dibeberapa daerah saja, karena strain yang tidak menonjol suatu ketika akan menjadi menonjol apabila mendapat inang yang cocok. (Ezuka dan Horino, 1974).
Xanthomonas oryzae pv. Oryzae merupakan bakteri yang bersifat gram negatif. Xanthomonas oryzae pv. Oryzae bervariasi dalam patogenitasnya, dan sampai sekarang dikenal ada 8 kelompok atau patotipe. Bakteri yang termasuk kelompok I dan II terdapat di Indonesia. Kelompok III tersebar di Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Jawa, bali, dan mungkin terdapat di tempat lain. Kelompok IV terdapat pada daerah-daerah seperti kelompok III, tetapi tidak terdapat di kalimantab Selatan. Kelompok V hanya terdapat di Bali. Kelompok VI dan VIII terdapat di daerah Jawa Barat., yang penyebarannya di daerah lain belum diketahui. Parapeneliti jepang menemukan bakteriofage yang dapat menyerang Xanthomonas oryzae pv. Oryzae, antara lain yang disebut dengan bakteriofage OP1 dan OP2. Adanya bakteriofage ini di Indonesia telah dibuktikan oleh Mahmud dan walkman (1975), yang berusaha memakainya untuk peramalan epidemi hawar daun bakteri (Semangun, 2004).
Strain Xanthomonas oryzae pv. Oryzae berbeda dari satu negara ke negara lain dan dari satu daerah ke daerah lain. Varietas IR64 yang mempunyai gen ketahanan Xa-4 bereaksi tahan terhadap isolat Xanthomonas oryzae pv. Oryzae asal Filipina, tetapi sangat rentan terhadap isolat asal Indonesia dan India. Gen ketahanan Xa-4 berfungsi baik untuk negara-negara di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara lainnya, tetapi kurang baik untuk Asia Selatan oleh karena itu untuk mengendalikan penyakit hawar daun bakteri dengan menggunakan varietas tahan, pemantauan pergeseran patotipe Xanthomonas oryzae pv. Oryzae dan seleksi varietas tahan yang baru harus terus dilakukan dalam menunjang program pemuliaan padi yang berkesinambungan (Zhang & Mew, 1989).
Kerusakan yang ditimbulkan terus meningkat dari waktu ke waktu akibat pergeseran patotipe Xanthomonas oryzae pv. Oryzae di lapangan. Pergeseran tersebut menyebabkan upaya penanggulangannya menjadi sulit. Pasalnya strain yang tidak menonjol suatu ketika akan menonjol ketika mendapatkan inang yang cocok. Selain itu, terdapat satu strain Xanthomonas oryzae pv. Oryzae yang tingkat virulensinya paling tinggi dan belum ada varietas yang tahan terhadap strain itu. Saat ini penggunaan varietas tahan hama masih menjadi antisipasi terbaik dalam penanggulangan hawar daun bakteri. Untuk itu harus terus dilakukan pemantauan pergeseran strain di lapangan. Mengetahui strain yang dominan akan mempermudah rekomendasi varietas yang ditanam di suatu daerah (Suwanto, 1994).

Gejala
Penyakit hawar daun bakteri menghasilkan dua gejala khas, yaitu kresek dan hawar. Kresek adalah gejala yang terjadi pada tanaman berumur <30 hari (pesemaian atau yang baru dipindah). Daun-daun berwarna hijau kelabu, melipat, dan menggulung. Dalam keadaan parah, seluruh daun menggulung, layu, dan mati, mirip tanaman yang terserang penggerek batang atau terkena air panas (lodoh). Sementara, hawar merupakan gejala yang paling umum dijumpai pada pertanaman yang telah mencapai fase tumbuh anakan sampai fase pemasakan (Suyamto, 2007).
Penyakit ini akan menimbulkan gejala yang timbul 1-2 minggu setelah padi dipindah dari persemaian. Daun-daun yang sakit akan berwarna hijau kelabu, mengering, helaian daunnya melengkung, diikuti oleh melipatnya helaian daun itu sepanjang ibu tulangnya. Pada umumnya gejala yang pertama tampak pada daun-daun yang dipotong ujungnya. Dekat bekas potongan terjadi bercak hijau kelabu, sering ibu tulang daun menjadi berwarna kuning. Warna daun yang kering tiu akan berubah menjadi kening jerami sampai coklat muda. Gejala dapat juga meluas sampai upih daun (Semangun, 1991).
Gejala busuk daun biasanya serangannya terjadi waktu padi masih dalam persemaian atau setelah tanam, namun terkadang menyerang saat tanaman padi berumur 60 hari keatas. Padi yang masih dalam persemaian, atau setelah tanam serangannya ditandai oleh daun menguning dan selanjutnya daun tampak kering. Sedangkan busuk bakteri yang menyerang tanaman yang agak tua, daunnya berwarna keabu-abuan selanjutnya berwarna putih. Gejala lain adalah kresek, dimana gejala ini terjadi pada tanaman padi berumur 2-6 minggu (Suwanto, 1994).
Gejala penyakit ini mudah dibedakan dari gejala karena serangan penggerek, karena pada serangan penggerek gejala lebih dulu timbul pada daun yang lebih muda, sedang pada hawar daun bakteri serangan akan tampak pada daun yang lebih tua. Mungkin bakteri hanya menyerang beberapa daun, tetapi dapat juga berkembang terus sehingga tanaman mati. Tingkatan terakhir dari penyakit ini adalah membusuknya tanaman, yang dikenal dengan nama hama lodoh. Bakteri terutama terdapat dalam berkas-berkas pembuluh. Kalau daun yang sakit dipotong dan diletakkan pada ruangan yang lembab, dari berkas pembuluhnya akan keluar lendir kekuningan yang mengandung jutaan bakteri (ooze) (Semangun, 2004).
Garis-garis yang kebasah-basahan pada urat daun setelah dipotong dan diletakkan pada tempat yang lembab akan banyak lendir bakteri yang terdapat pada garis-garis tersebut yang disebut ooze, lendir itu kemudian mengering membentuk butiran-butiran kecil pada garis-garis luka (Harahap dan Cahyono, 1998).
Untuk membedakannya cukup dipotong bagian bawah tanaman (batang) selanjutnya ditekan, kalau timbul warna kekuning-kuningan maka terjadi serangan busuk bakteri (Sudarmo, 1991).

Daur Penyakit
Bakteri terutama mengadakan infeksi melalui luka-luka pada daun, karena biasanya bibit padi dipotong ujungnya sebelum ditanam. Bakteri juga mengadakan infeksi melalui luka-luka pada akar sebagai akibat pencabutan. Infeksi terjadi saat pertanaman atau beberapa hari sesudahnya. Bahkan sudah diketahui bahwa luka-luka pada akar dapat menarik bakteri. Bakteri juga dapat mengadakan infeksi melalui pori air yang terdapat pada daun, melalui luka-luka karena daun-daun yang bergesekan, dan melalui luka-luka karena serangan. Bakteri tidak dapat bertahan lama pada biji, sehingga umumnya penyakit ini tidak terbawa oleh biji (Semangun, 2004).

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penyakit
Jenis padi mempunyai ketahanan yang berbeda-beda sejak dulu diketahui bahwa padi cere jenis Bengawan, Cina dan Mas rentan terhadap hawar daun bakteri. Padi gundil terbukti paling tahan, sedang jenis-jenis bulu adalah paling tahan dan penyakit tidak pernah menimbulkan kerugian yang berarti padajenis ini (Semangun, 2004).
Dalam keaadaan lembab (terutama di pagi hari), kelompok bakteri, berupa butiran berwarna kuning keemasan, dapat dengan mudah temukan pada daun-daun yang menunjukkan gejala hawar. Dengan bantuan angin, gesekan antar daun, dan percikan air hujan, massa bakteri ini berfungsi sebagai alat penyebar penyakit hawar daun bakteri (Suyamto, 2007).
Penyakit lebih banyak pada padi yang dipindah. Pada umur yang lebih muda. Ada jenis padi tertentu yang tahan pada waktu muda dan adapula yang tahan pada waktu dewasa. Misalnya bakteri kelompok III jenis Krueng Aceh tahan pada waktu muda, sedang Bah Butong, Semeru, Citanduy, dan Cisanggarung menjadi tahah setelah dewasa terhadap bakteri kelompok IV Bah Butong tahan pada waktu masih muda dan juga setelah dewasa (Semangun, 2004).

Pengendalian
Pengendalian penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi di Indonesia selama ini lebih banyak mengandalkan penggunaan pestisida, namun akibat efek samping yang ditimbulkan maka penggunaannya mulai dikurangi, akibat residu yang ditinggalkan dapat bersifat racun dan karsinogenik. Oleh karena itu pengembangan agens biokontrol (agen hayati) sebagai komponen pengendalian penyakit hawar daun bakteri padi secara terpadu yang ramah lingkungan perlu dikembangkan dan diharapkan menjadi alternatif pengendalian yang penting dalam era pertanian yang berkelanjutan. Keuntungan biokontrol antara lain; lebih aman, tidak terakumulasi dalam rantai makanan, adanya proses reproduksi sehingga dapat mengurangi pemakaian yang berulang-ulang dan dapat digunakan secara bersama-sama dengan pengendalian yang telah ada (Suwanto, 1994).
Pemanfaatan mikroorganisme sebagai agens pengendalian nampaknya masih perlu dikembangkan. Pengembangan penggunaan mikroorganisme tersebut perlu dilandasi pengetahuan jenis-jenis mikroorganisme, jenis-jenis penyakit dan juga mekanisme pengendalian penyakit tanaman dengan menggunakan mikroorganisme. Pemanfaatan ini diharapkan dapat membantu pengendalian penyakit tanpa mengganggu kondisi lingkungan (Kustianto et. al., 1995).
Terdapat sejumlah bakteri filosfer yang diisolasi dari daun padi yang berpotensi sebagai agen biokontrol penyakit hawar daun bakteri pada skala rumah kaca. Terdapat bakteri filosfer Pseudomonas kelompok fluorescens dan Bacillus sp yang juga diisolasi dari daun dan batang tanaman padi yang berpotensi sebagai agen biokontrol penyakit hawar daun pada padi secara in vitro (Machmud dan Farida (1995).
Penggunaan agen biokontrol dalam skala luas di lapangan memerlukan beberapa kriteria antara lain formulasi agen biokontrol mudah diaplikasi di lapangan, pembiakan massal dan bahan formulasi yang murah dan mudah didapatkan, serta agen biokontrol mampu bertahan dalam waktu yang relatif lama dalam bahan formulasinya pada suhu ruang. Hal-hal tersebut sering menjadi kendala utama dalam pemanfaatan biokontrol di lapangan, yang perlu dipikirkan jalan keluarnya (Khaeruni, 2001).
Penyakit hawar daun bakteri secara efektif dikendalikan dengan varietas tahan; pemupukan lengkap; dan pengaturan air. Untuk daerah-daerah yang endemis penyakit hawar daun bakteri, tanam varietas tahan seperti Code dan Angke dan gunakan pupuk NPK dalam dosis yang tepat. Bila memungkinkan, hindari penggenangan yang terus-menerus, mis. 1 hari digenangi dan 3 hari dikeringkan (Suyamto, 2007).
Intensitas serangan hawar daun bakteri tidak hanya dipengaruhi oleh ketahanan varietas dan virulensi patogen, tetapi juga dipengaruhi oleh teknik bercocok tanam yang diterapkan oleh petani. Sama halnya dengan penyakit-penyakit padi lainnya, penyakit hawar daun bakteri mempunyai hubungan yang jelas dengan pemupukan, khususnya pemupukan nitrogen. Pemberian pupuk N dengan dosis anjuran penting untuk meningkatkan pertumbuhan vegetatif dan produktivitas. Sebaliknya pemupukan N dengan dosis yang tinggi akan meningkatkan kerusakan pada varietas dengan ketahanan moderat, walaupun pada varietas yang resisten dampaknya relatif kecil. Oleh karena itu, pemupukan N yang berlebihan sebaiknya dihindarkan. Selain pemupukan sesuai dosis anjuran, pergiliran varietas dan tanaman, sanitasi dan eradikasi pada tanaman yang terserang dapat dilakukan untuk mengendalikan penyakit hawar daun bakteri pada suatu daerah tertentu (Khaeruni, 2001).
Efektivitas pengendalian dengan pengurangan takaran pupuk N sangat terbatas dan sering bersifat lokal, sehingga dihadapkan kepada kesulitan teknis yang relatif tinggi. Pengendalian dengan penanaman varietas tahan cukup efektif. Sejak dilepasnya varietas IR20 yang mengandung gen tahan terhadap hawar daun bakteri, perakitan varietas tahan hawar daun bakteri menjadi salah satu program penting pemuliaan tanaman padi (Mew et. al., 1982).
Varietas tahan tetap merupakan komponen utama pengendalian hawar daun bakteri secara terpadu karena sangat ekonomis, efektif, dan tidak merusak lingkungan. Tetapi keefektifan varietas yang tahan ini dipengaruhi oleh interaksi antara gen pembawa sifat tahan yang dimilikinya dan gen virulensi pada populasi Xanthomonas oryzae pv. Oryzae yang terdapat di suatu wilayah (Ogawa, 1993).
Berbagai varietas dan galur padi dengan berbagai tingkat ketahanan terhadap hawar daun bakteri telah dikembangkan. Namun kemudian diketahui varietas tahan hanya efektif terhadap strain tertentu di lokasi tertentu. Penelitian menunjukkan bahwa patogen Xanthomonas oryzae pv. Oryzae dapat membentuk strain baru yang mampu mematahkan ketahanan suatu varietas. Beberapa tahun setelah dilepas pada tahun 1970, IR20 dilaporkan rentan terhadap strain Isabela di Filipina. Sementara IR36 yang dilepas pada tahun 1979 dilaporkan rentan terhadap strain IV pada tahun 1982. Hal ini mengisyaratkan bahwa ketahanan varietas padi terhadap hawar daun bakteri tidak hanya disebabkan oleh dominasi dan distribusi strain yang berbeda di berbagai daerah, tetapi juga terkait dengan kurun waktu pengembangan varietas tersebut. Periode ketahanan suatu varietas ditentukan oleh beberapa faktor, seperti kecepatan perubahan strain, komposisi dan dominasi strain, frekuensi penanaman, dan komposisi varietas dengan latar belakang gen berbeda yang ditanam dalam waktu dan hamparan tertentu (Ogawa 1993).
Selain itu, untuk daerah-daerah yang biasa mendapat gangguan dari penyakit ini danjurkan melakukan usaha-usaha (Semangun, 2004) :
1. Menanam jenis yang tahan.
2. Bibit padi yang dipindah tidak dipotong ujung daunnya.
3. Memindah bibit pada umur yang tidak kurang dari 40 hari. Untuk jenis-jenis yang lebih rentan umur lebih baik ditambah.
4. Untuk jenis-jenis yang rentan dianjurkan menanam 4-5 bibit tiap rumpun, dengan harapan kelak tidak ada tempat-tempat yang kosong.
5. Pemupukan yang seimbang.
6. Tidak mengairi persemaian terlalu dalam.
7. Jika diperlukan, penyakit dapat dicegah dengan merendam bibit yang dipotong daunnya ke dalam larutan terusi 0.05% selama 30 menit. Tanaman dapat disemprot bakterisida fenazin-5 oksida (Stablex 10 WP) dengan dosis 0.1 kg/ha bahan aktif.

Sumber :
Ezuka, A. and O. Horino. 1974. Classification of rice varieties and Xanthomonas oryzae strains on the basis of differential interactions. Bull. Tokal-Kinki Nat. Agr. Exp. Sta. 27:1-19.

Goto, M. 1964. Kresek and pele yellow leaf systemic symptoms of bacterial leaf blight of rice caused by Xanthomonas oryzae (Uyeda et Ishiyama) Dawson. PI. Dis. Rep.48 : 858-861.

Harahap, I.S. dan Cahyono, B. 1998. Pengendalian Hama Penyakit Padi. Penebar Swadaya. Bogor.

Kardin, M.K. dan H. R. Hifni. 1993. Penyakit hawar daun bakteri padi di Indonesia. Risalah Seminar Puslitbangtan.

Khaeruni, Andi. 2001. Penyakit Hawar Daun Bakteri pada Padi : Masalah dan Upaya Pemecahannya. IPB. Bogor.

Kustianto, B., Minantyorini, Hartini R., 1995. Pencarian sumber ketahanan varietas padi terhadap penyakit hawar daun bakteri kelompok IV, hal. 188-192. Di dalam Peningkatan Peranan Fitopatologi Dalam Pengamanan Produksi & Pelestarian Lingkungan. Risalah Kongres Nasional XII & Seminar Ilmiah. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia, 1995. Yogyakarta.

Machmud, M. dan Farida, 1995. Isolasi dan identifikasi bakteri antagonis terhadap bakteri hawar daun padi (Xanthomonas oryzae pv oryzae). Risalah Kongres Nasional XII & Seminar Ilmiah. Perhimpunan Fitopatologi Indonesia. Yogyakarta.

Mew, T .W., Vera Cruz, and R.C. Rayes. 1982. Interaction of Xanthomonas campestris oryzae and resistance of rice cultivar.UPhytopathology 72 : 786-789.

Ogawa, T. 1993. Methods and strategy for monitoring race distributions and identifications of resistance genes tobacterial leaf blight (Xanthomonas campestris pv. oryzae) in rice . JAEQ 27:71-80.

Sudarmo, Subiyakto. 1991. Pengendalian Serangan Hama Penyakit dan Gulma Padi. Kanisius. Yogyakarta.

Semangun, H. 1991. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan Penting di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Semangun, H. 2004. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan Penting di Indonesia. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Suwanto, A., 1994. Mikroorganisme Untuk Biokontrol, Strategi Penelitian & Penerapannya dalam Bioteknologi Pertanian. Agrotek 2:40-46.

Suyamto. 2007. Masalah Lapang Padi. Puslitbangtan, Bogor.

Utami, W., Kadir, Triny., dan Koerniati, Sri. 2007. Galur padi baru tahan hawar daun. Bakteri. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 29 : 5-6.

Zhang,Q. and T.W. Mew. 1989. Types of resistance in rice to bacterial blight. Bacterial Blight of Rice. Proceedings of The Int. Workshop on Bacterial Blight of Rice, 14-18 March 1988. IRRI. Philippines.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar